Seminar Nasional: "Menuju Indonesia Adidaya, Menjawab Tantangan Energi, Air dan Pangan Masa Depan" di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (8/4). |
Independen.Net, Yogyakarta - Ketergantungan Indonesia terhadap minyak saat ini masih tinggi. Pemerintah akan menurunkan bauran energi minyak bumi dari sekitar 40% menjadi hanya 25% tahun 2025. Salah satunya dengan pengembangan Energi Baru Terarukan (EBT) seperti bioetanol yang potensi pengembangannya besar dan produktifitasnya tinggi.
"Ketergantungan Indonesia terhadap minyak masih tinggi. Porsi bauran energi minyak saat ini lebih dari 40%, dan tahun 2025 kita turunkan hampir separuhnya. Walaupun peranannya turun, tapi by volume kebutuhan minyak masih meningkat. Tahun ini kebutuhan minyak sekitar 1,6 juta barel per hari (bph). Meski tahun 2025 baurannya diturunkan menjadi hanya 25%, tetapi volumenya meningkat menjadi sekitar 1,9 juta bph. Padahal produksi minyak kita kurang dari 800 ribu bph, itupun masih ada yang diekspor," ujar Kepala Balitbang ESDM, Sutijastoto pada Seminar Nasional: "Menuju Indonesia Adidaya, Menjawab Tantangan Energi, Air dan Pangan Masa Depan" di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (8/4).
Untuk menurunkan porsi minyak dalam bauran energi nasional, peran EBT termasuk bioetanol yang potensinya besar, perlu dipercepat.
"Bioetanol dari sorghum itu sangat potensial di Indonesia, dan itu setahun bisa panen 3 kali. Walaupun secara volume, kalau dibandingkan dengan tebu lebih sedikit produktifitasnya untuk menghasilkan bioetanol, tetapi karena bisa dipanen 3 kali setahun, maka produktifitasnya bisa melebih tebu dalam setahun. Itu yang kita olah batangnya, bijinya kita olah untuk pangan. Inilah potensi energi yang bisa disinergikan dengan pangan," ungkap Sutijastoto.
Sehari sebelumnya (7/4), Sutijastoto melakukan rapat kerja dengan Tim Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta dalam rangka kerjasama pengembangan bioetanol. Pengembangan bioetanol tersebut telah dimulai dengan penanaman sorghum dan kemiri sunan di kebun percobaan di Bantul, DIY Yogyakarta, dengan pembiayaan APBN. Untuk penerangan di kebon biofuel tersebut menggunakan energi surya.
Saat ini sedang dilakukan kajian keekonomian untuk komersialisasi fasilitas pengolahan bioetanol berkapasitas 30 ribu kilo liter per tahun, yang hasilnya dapat digunakan sebagai campuran BBM. Dengan skema ini, apabila dilakukan di wilayah yang masih terpencil dengan infrastruktur terbatas seperti di Timur Indonesia, maka dapat membuat biaya pokok penyediaan BBM lebih efisien.
Untuk mencapai target bauran EBT sebesar 25% pada tahun 2025, berbagai upaya terobosan harus makin ditingkatkan, baik yang berskala besar maupun skala kecil. Meskipun skala kecil tapi jika banyak, tersebar dan dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, tentu akan membawa dampak yang luas juga. Kerjasama dengan berbagai stakeholders terutama akademisi perlu terus digalakkan. (AS)
Posting Komentar